BAHASA, SASTRA & AKSARA
ꦧꦱ꧈ꦱꦱ꧀ꦠꦿ꧈ꦲꦏ꧀ꦱꦫ
Kalurahan Guwosari berada di Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul. Nama "Guwosari" terdiri dari kata 'guwo' atau gua (lubang besar pada kaki gunung dan sebagainya -- KBBI), dan kata 'sari' yang berarti asri atau indah (memuat makna kebaikan).
Kalurahan Guwosari merupakan penggabungan dari 2 (dua) kalurahan lama, yakni Kalurahan Selarong dan Kalurahan Iroyudan, berdasarkan perintah Gubernur DIY tahun 1946 (ditetapkan dengan Maklumat 5/1948). Nama "Guwosari" dipilih sebagai jalan tengah agar bisa diterima oleh seluruh masyarakat, tanpa meninggalkan identitas wilayah melalui keberadaan Gua Selarong dan Gua Secang.
Sejarah mencatat, di Goa Selarong tersebut Pangeran Diponegoro, bersama sejumlah pengikutnya seperti Kyai Mojo, Pangeran Aryo Ronggo, Alibasah Sentot Prawiryodirjo, Raden Ronggo Prawirodirjo III, dan Nyi Ageng Serang, mengobarkan Perang Jawa ('De Java-oorlog', 1825–1830) melawan penjajah Belanda.
Untuk keperluan logistik pasukan, Pangeran Diponegoro membeli hasil panen secara besar-besaran dari masyarakat sekitar. Sementara kebutuhan mesiu dipenuhi dengan membangun beberapa pabrik mesiu di Kotagede, pinggir Kali Progo, daerah Geger (Kulon Progo), dan Parakan (Kedu). Menurut tutur masyarakat setempat, pasukan Pangeran Diponegoro dibariskan (bahasa Jawa: "banjar") sebelum berangkat perang, hingga wilayah itu kemudian dinamakan Kampung Banjaran. Letaknya di sebelah tenggara Goa Kakung dan Goa Putri, di dalam kompleks Goa Selarong.
Nama "Guwosari" menggambarkan cita-cita masyarakat untuk senantiasa menjadikan wilayahnya lebih baik. Aspek historis yang begitu kuat mengakar pada masyarakat melatarbelakangi arah pembangunan kalurahan yang mengusung konsep kalurahan budaya, khususnya Jawa Yogyakarta. Lurah pertama yang memimpin Desa Guwosari adalah Sukro Wardi.
Sejarah dan asal nama Desa Selarong sangat jelas karena termuat dalam ingatan Trah Demang Joyosentono, sebagai keturunan Pangeran Aryo Selarong yang namanya diabadikan menjadi nama Desa Selarong. Juga trah dari keturunan saudara tiri Pangeran Aryo Selarong, yakni Pangeran Bumidirjo.
Nama Selarong berasal dari nama Pangeran Aryo Selarong, putra Prabu Hanyokrowati atau Pangeran Sedo Krapyak, raja kedua Kasultanan Mataram dari Istri Permaisuri I (Kulon), Ratu Tulung Ayu. Belum diketahui pasti nama mudanya apakah RM. Wuryah ataukah RM. Chakra, karena keduanya memakai nama gelar yang sama yakni Pangeran Aryo Selarong. Namun dimungkinkan keduanya adalah orang yang sama.
Sebagai putra dari permaiusri utama, Pangeran Aryo Selarong sebenarnya memiliki hak atas tahta, namun merelakan untuk adiknya, RM. Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusumo, bahkan berjuang mendukung demi kejayaan Kasultanan Mataram melalui jalur agama dan militer, di antaranya memimpin penaklukan Jember dan Pasuruan. Namun tatkala pemerintahan beralih ke raja selanjutnya, Amangkurat I, beliau bersikap menentang karena raja banyak melakukan tindak angkara dan sewenang wenang, jauh dari agama.
Beliau memutuskan meninggalkan kraton, tinggal di desa yang sekarang disebut Selarong untuk mendirikan pesantren. Beliau menjadi penguasa Selarong dan dilanjutkan anak keturunannya. Beliau wafat tahun 1669 dibunuh oleh prajurit sandi Prabu Amangkurat I di desa Bareng, Kuwel, Delanggu. Peristiwa tersebut tertulis dalam Babad Momana dan laporan Rijklof van Goens kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, Joan Maetsuicker, dan tulisan Sejarawan Belanda Hermanus Johannes de Graaf. Untuk menghormati, desa tempat tinggal beliau kemudian disebut Selarong. Kekuasaan secara berturut-turut dipegang oleh anak keturunannya, yakni :
Panembahan Aryo Selarong II (Raden Mas Abdullah).
Panembahan Aryo Selarong III (Raden Mas Wongsokoro)
Kenthol
Kenthol
Kenthol Wongsomenggolo
Kenthol
Raden Joyosentono (Demang).
Sampai berakhirnya Perang Jawa (1830) luas wilayah kekuasaan atau luas Desa Selarong sangat bisa jadi meliputi wilayah yang sangat luas sampai disekitar Pegunungan Selarong, terrmasuk Desa Iroyudan, tentunya. Baru setelah berakhirnya Perang Jawa yang diikuti dengan penataan administrasi dan pembentukan desa-desa, wilayah Desa Selarong dipersempit hanya meliputi 8 dusun saat ini. Wilayah lain yang termasuk dalam Desa Guwosari saat ini menjadi Desa tersendiri dengan nama Iroyudan.
Goa Selarong merupakan sebuah goa kecil yang berada di Dusun Kembangputihan Kalurahan Guwosari yang menjadi tempat wisata dan dikenal sebagai salah satu tempat wisata religius. Banyak pengunjung datang ke Goa Selarong untuk melakukan meditasi dan aneka ritual lainnya. Goa Selarong menjadi saksi peristiwa besar yang menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Terutama kisah kepahlawanan Pangeran Diponegoro yang menjadi tokoh besar saat meletusnya Perang Jawa pada 1825-1830. Kini Objek Wisata ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Parwisata Kabupaten Bantul,namun masyarakat tetap diberi peran sebagai pelaku usaha baik kuliner, parkir maupun pelaku wisata lainnya.
Gunung Mijil merupakan tempat Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi mengatur siasat perang bersama 1500 tentara rakyat melawan penjajah Belanda yang akhirnya dapat memukul mundur dan memenangkan pertempuran walau hanya dengan alat perang tradisional bambu runcing dan bandil. Peperangan yang tidak imbang walau dimenangkan oleh Tentara Rakyat dan Pangeran Diponegoro tetapi banyak pengorbanan dengan gugurnya 800 tentara rakyatpejuang yang merupakan Pejuang Wanita berbusana Pria. Gunung Mijil merupakan lahan yang berada di atas tanahSultan Ground yang terletak di wilayah Dusun Gandekan, Desa Guwosari dan Desa Bantul. Bentuk Gunung Mijil yang menarik,lingkungan alam hijau yang nyaman, dan spot pemandangan dari atas bukit terlihat hamparan sawah hijau luas dan bukit hijau disekeliling Gunung Mijil. Sebagai tempat Petilasan Pangeran Diponegoro, maka dibuatlah
Replika Kenthongan TITIR sebagai tanda atau alat komunikasi di waktu lalu untuk mengumpulkan masyarakat dan sebagai pemberi tanda situasi dusun dalam keadaan aman atau bahaya. Juga terdapat Batu Telik Sandi sebagai tempat yang dulu digunakan oleh Telik Sandi mengintai musuh dan memberi tanda informasi bahaya kepada Telik Sandi yang ada di bukit Semanjir Slarong dengan mengibarkan bendera HERU CAKRA. Sehingga, jika dusun Gandekan diserang musuh pasukan dari Slarong bersiap membantu dan mempertahankan Markas Besar yang ada di Goa Selarong.
Tempat menamcapkan bendera Herucokro / bendera kemenangan Pangeran Diponegoro menandakan daerah perjuangan Pangeran Diponegoro di sekitaran goa selarong
Sumber Mata air yang terletak diatas Goa Selarong, yang saat ini digunakan sebagai sumber air warga. Konon dulu digunakan sebagai sumber mata air saat Pangeran Diponegoro singgah di Goa Selarong.
Selarong dapat disebut sebagai miniatur pesanggrahan Pangeran Diponegoro sesudah Ndalem Tegalrejo. Seperti Krapyak-nya HB I yang tinggal di keraton. Bahkan disebutkan, Diponegoro hampir setiap malam tidur di Selarong, kemudian baru esoknya kembali ke Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro termasuk pahlawan yang taat beribadah, intensitas berkunjung ke selarong yang begitu sering mendorong Pangeran Diponegoro untuk membuat Masjid Agung di sekitaran Goa Selarong, namun naasnya saat ini masjid sudah hilang, hanya menyisakan beberapa ompak saja.
Kuda ini seluruh tubuhnya berwarna hitam dan keempat kakinya berwarna putih, dalam istilah Jawa dikenal sebagai Pancal Panggung. Ketika Pangeran Diponegoro dan para pembesarnya sedang makan siang, tiba-tiba dikepung musuh. Pangeran Diponegoro yang hanya dikawal 40 prajurit bersenjata tombak atau busar, tak menemukan jalan keluar untuk lolos dari kepungan ketat. Kemudian Kiai Gentayu menerobos dan menyerang pasukan Belanda yang melakukan penggepungan sehingga membuat musuh terkejut. Akhirnya, Pangeran Diponegoro bersama pasukannya pun menemukan jalan keluar untuk meloloskan diri. Sedangkan Kiai Gentayu mengambil jalan lain yang berbeda arah dan terus dikejar pasukan Belanda, yang terus menembaki dan melempari tombak. Kuda kesayangan Pangeran Diponegoro yang mati di Modang.
disebutkan wilayah ini pada masa Perang Jawa digunakan sebagai tempat persiapan pasukan Pangeran Diponegoro. Pasukan ini disiapkan di sebuah tanah lapang dalam formasi berbanjar, karena itulah wilayah ini dinamai Banjaran.
Bilangan tahun yang disebutkan sengkalan harus dimaknai secara tepat berdasar peredaran tahun yang digunakan. Dalam membuat sengkalan kalurahan Guwosari menggunakan sengkalan lamba , sehingga perlu dicari kata-kata yang mewakili bilangan yang dikehendaki. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai watak (nilai) dari sejumlah kata-kata yang ada. Watak tersebut muncul berdasar seperangkat pedoman dan pemahaman mengenai kata-kata yang dipergunakan. Watak dari kata-kata ini tidak muncul begitu saja, dan memerlukan kajian yang mendalam agar kata yang dirangkai menjadi apik, mudah dihafal dan gagah. Sehingga memunculkan makna dan filosofi tahun kelahiran Kalurahan Guwosari sebagai berikut;
Angka 1 = TUNGGAL Makna : Satu, Bersatu, Nyawiji
Angka 9 = DWARA Makna : Gerbang/Pintu
Angka 4 = KARTA Makna : Makmur, Sejahtera
Angka 6 = RINARAS Makna : Selaras, Sinergi
SENGKALAN :
1946 – DIURUTKAN DARI BELAKANG – 6491
“RINARAS KARTA DWARA TUNGGAL”
Mempunyai Makna atau Filosofi :
Selalu selaras dan bersinergi dengan Keistimewaan Yogyakarta menuju Kalurahan Guwosari yang Makmur – Sejahtera melalui Gerbang pintu kebersaamaan satu sama lain antar warga masyarakat yang Nyawiji agar Handarbeni.
Penamaan nama administratif padukuhan di Kalurahan guwosari di wariskan secara turun temurun dari jejak sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro, antara lain:
Watugedug : Diceritakan pada masa berkecamuknya Perang Jawa, ketika Pangeran Diponegoro bersembunyi dan membangun markas di Goa Selarong, pasukan kuda sering melalui jalan sekitar Goa Selarong. Uniknya, ketika pasukan kuda menapaki jalan ini akan terdengar suara “Dug Dug Dug”, dari sinilah akhirnya pedukuhan ini dinamai Watugedug
Iroyudan : Menurut keyakinan masyarakat nama Iroyudan berasal dari nama Kyai Ageng Wiroyudo, Panglima Besar Sultan Hamengkubuwono I dan sekaligus Kakek dari Istri Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I. Tumenggung Wiroyudo hidup pada masa yang sama dengan Pangeran Diponegoro, dan ketika Pangeran Diponegoro memilih untuk menghindari pengawasan ketat Belanda dengan tinggal di Selarong, Mbah Wiroyudo, sebagai seorang teman dan setia, juga memutuskan untuk bergabung dalam perjuangan tersebut. Untuk mengelabui Belanda, ia mendirikan pesantren di dekat Selarong. Pesantren ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat pendidikan agama, tetapi juga menjadi basis penting dalam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang menindas. Ketika Jalan utama pada saat itu melintasi Jembatan Sindon, tempat strategis untuk pengawasan dan pergerakan, pasukan Belanda mendekat. Mbah Wiroyudo dan para santri pesantren bertindak cepat dan cerdas. Mereka memanfaatkan pengetahuan mereka tentang medan untuk menghambat gerak maju pasukan penjajah ke arah utara, yang mengarah ke Gua Selarong. Ini menjadi awal dari Kampung Jagad, tempat sementara bagi penjajah Belanda untuk mengawasi dan mengorganisir pasukan mereka, yang kemudian dikenal sebagai Kampung Kalongan. Makam Mbah Wiroyudo terletak di Guwosari, Jati Larangan, sebuah keputusan yang dipilihnya karena menolak untuk dimakamkan di dalam keraton. Santri-santri dari pesantren beliau kemudian menjadi inti dari komunitas yang dikenal sebagai Dukuh Iroyudan, sebuah nama yang diambil dari nama beliau. aRumah joglo yang dulunya menjadi pesantren Mbah Wiroyudo sekarang tidak lagi ada, konon katanya telah digantikan oleh rumah-rumah yang dibangun oleh keturunannya, meskipun identitas aslinya tersebut sudah tidak dapat dipastikan.
Kentolan Lor dan Kentolan Kidul : diambil dari nama salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yakni Broto Joyo Joyo Kentol sebagai tokoh perjuangan dalam perang Diponegoro yang mengajarkan welas asih terhadap sesama, bertanggung jawab, jujur dan benar.
Kedung : di padukuhan kedung walaupun memiliki tipologi kawasan pegunungan namun terdapat sumber mata air yang melimpah dalam kedung (Kolam)
Kembangputihan : Konon dusun "Kembang Putihan" mengambil namanya dari kebiasaan istri Pangeran Diponegoro yang kerap mengenakan bunga putih di telinganya.
Kembanggede : Dusun "Kembang Gede" mendapatkan namanya dari keberadaan sebuah kembang besar yang pernah tumbuh di dusun tersebut. Namun keberadaan kembang (bunga) tersebut kini sudah tidak ada.
Santan : Asal-usul nama Santan dan sejarah penyebaran Islam di daerah tersebut dalam wawancara ekslusif. Versi pertama menyebutkan bahwa nama Santan berasal dari banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di daerah itu. Sementara versi lainnya mengaitkan nama tersebut dengan banyaknya pesantren yang berdiri di Santan. "Ada dua versi yang berkembang soal asal nama Santan. Yang pertama karena dulu di sini banyak sekali pohon kelapanya, yang dalam bahasa Jawa disebut duku. Versi lain menyebutkan karena daerah ini memang terkenal banyak pesantrennya," osok penting dalam penyebaran Islam di Santan, yakni Penambahan Jago yang dianggap sebagai panatua (tokoh penting). Penambahan Jago dimakamkan di Bebrah. "Beliau ini tokoh penting yang menyebarkan Islam di Santan pada masa lalu. Makamnya ada di Bebrah,"
Bungsing : Bungsing, sebuah padukuhan di Guwosari, memiliki sejarah dan budaya yang kaya. Nama "Bungsing" berasal dari keberadaan embung atau mata air yang telah ada sejak dulu dan masih berfungsi hingga sekarang. Embung ini, yang kini telah dipermanenkan, terletak dekat dengan waung dan menjadi ciri khas wilayah tersebut. Meski berada di daerah tinggi, mata air di Bungsing tidak pernah kering, bahkan saat musim kemarau.Padukuhan Bungsing terdiri dari tiga padukuhan yang bersatu menjadi satu dusun. Pada tahun 1972-an, Bungsing baru memiliki makam, yang unik karena bertingkat: bayi dimakamkan di undakan paling bawah, sementara para kyai dimakamkan di bagian paling atas. Makam ini direncanakan akan menjadi makam religi, mengingat banyak kyai dari Bantul yang dimakamkan di sana. Masjid tertua di Bungsing dibangun pada tahun 1978. Hingga kini, adat dan budaya di Bungsing tetap dipertahankan. Tradisi seperti sedekahan, selikuran, merti dusun, dan nyewu untuk orang yang wafat masih dipraktikkan dengan penuh khidmat. Dari sisi keagamaan, ada tradisi ngapati yang menandai peniupan ruh ke dalam janin, sebuah ritual yang menunjukkan kedalaman spiritual masyarakat setempat. Selain itu, di Bungsing terdapat senjata kuno yang merupakan kepemilikan pribadi, seperti pedang dan pusaka lainnya, yang dimiliki oleh keluarga Pak Ichwan. Senjata-senjata ini menjadi bagian dari warisan budaya yang kaya di Bungsing.
Kalakijo : Dukuh Kalak Ijo memiliki sejarah yang menarik dan kaya akan budaya. Menurut penuturan Pak Riyanto, kepala dukuh Kalak Ijo, desa ini terkait erat dengan perjalanan Pangeran Diponegoro yang membawa banyak pengikutnya dari Kerajaan Pajang, yang terletak di daerah Surakarta. Nama "Kalak Ijo" sendiri konon berasal dari peristiwa bencana besar di daerah tersebut yang hanya menyisakan satu tanaman berwarna hijau yang sangat mencolok dari kejauhan. "Kalak" bisa diartikan sebagai bunga kenanga. Menariknya, di Surakarta terdapat desa yang disebut Desa Pajang Kenongo. Nama Kalak Ijo dapat dihubungkan dengan Desa Pajang Kenongo ini secara historis. Pengikut Pangeran Diponegoro dari Kerajaan Pajang, yang juga dikenal sebagai Pajang Kenongo, kemungkinan membawa nama ini saat menetap di wilayah baru, yang kemudian dikenal sebagai Kalak Ijo. Hubungan ini mencerminkan kesinambungan budaya dan sejarah antara kedua tempat tersebut. Di dusun ini terdapat makam tua yang dikenal sebagai Makam Poncondriyo. Makam ini sering dikunjungi untuk ziarah, terutama pada malam Jumat Kliwon, sebagai upaya melestarikan budaya leluhur. Tradisi Merti Dusun, atau yang juga dikenal sebagai Bersih Desa, merupakan bagian penting dari budaya di desa ini. Tradisi ini adalah bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas segala karunia seperti rejeki, keselamatan, dan ketentraman. Meskipun tidak selalu dilakukan secara rutin, tradisi ini tetap sering diadakan sebagai bagian dari ritus dan situs desa.
Macapatan
Jumari
2020
Gandekan
15 Anggota
Dilingkungan kantor Kalurahan Guwosari baik dalam pelayanan maupun musyawarah Kalurahan sering kali menggunakan Bahasa Jawa sabagai bahasa dalam berdikusi yang telah dituangkan dalam Surat Keputusan Lurah Guwosari tentang Kamis Kamis.
Dalam pertemuan Seperti Arisan, Tahlilan, Pengajian, dll mayoritas warga Masyarakat Kalurahan Guwosari menggunakan bahasa Jawa.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak dijumpai warga masyarakat Kalurahan Guwosari menggunakan bahasa jawa dalam percakapan sehari-hari
Lembaga Pendidikan dibawah kewenangan Kalurahan didorong untuk menggunakan bahasa jawa dalam kegiatan mengajar.
Terdapat beberapa bangunan lama yang menggunakan aksara jawa sebagai penyanding Bahasa Indonesia, salah satu contohnya adalah Prasasti pembangunan Makam di Padukuhan Kentolan Kidul